Ternyata Indonesia memiliki benteng dengan ukuran paling luas di
dunia. Benteng tersebut terletak di sebuah kota kecil yang berada di
propinsi Sulawesi Tenggara yaitu Kota Bau–Bau di Pulau Buton. Benteng
keraton Buton atau juga disebut Benteng Wolio pada
zaman dahulu merupakan pusat kerajaan Buton. Mulai dibangun pada masa
pemerintahan Sultan Buton ke-3 atau La sangaji pada tahun 1591 – 1957
dan selesai secara keseluruhan pada masa Sultan Buton ke-6 (Sultan La
Buke Gafurul Wadudu) tahun 1632-1645.
Kota Bau-Bau sendiri sangat identik dengan keberadaan Benteng Keraton
Buton yang dikenal sebagai benteng terluas di dunia. Bahkan, orang
Buton pada umumnya percaya bahwa Anda belum menginjakkan kaki di pulau
ini jika belum berkunjung ke Benteng berusia berabad-abad itu.
Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata
4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. Bangunannya terdiri atas susunan
batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis
rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng
meliputi 401.911 meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan
benteng terluas di dunia sebelumnya yang berada di Denmark. Dengan
demikian, Benteng Wolio tercatat sebagai yang terluas di dunia di
Guinness Book Of Record pada tahun 2006 silam.
Luasnya benteng ini, bukan sekadar isapan jempol, di dalam kompleks
benteng melingkupi 1 wilayah kelurahan, dengan nama kelurahan Melai, dan
tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat di kota ini.
Banyak obyek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada
batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton
pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno.
Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang
lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar
batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama
Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok. Putri itu kemudian
dijadikan pimpinan (ratu). Pelantikan raja tersebut dilakukan di atas
batu popaua. Batu ini terletak sekitar 200 meter dari batu Wolio.
Permukaan batu popaua hampir rata dengan tanah, namun mempunyai lekukan
berukuran hampir sama dengan telapak kaki manusia. Di lekukan itulah
putri Wakaa-kaa menginjakkan kaki kanannya sambil mengucapkan sumpah
jabatan sebagai ratu di bawah payung yang diputar sebanyak tujuh kali.
Karena itu batu tersebut disebut batu popaua (batu tempat diputarkan
payung raja). Tradisi pelantikan ratu atau raja di atas batu tersebut
berjalan hingga di zaman kesultanan, bentuk pemerintahan kerajaan Buton
setelah masuknya Islam.
Batu popaua terletak di kaki sebuah bukit kecil tempat berdirinya
Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini dibangun tahun 1712 di masa
pemerintahan Sultan Buton XIX bernama Lang Kariri dengan gelar Sultan
Sakiuddin Darul Alam. Masjid berukuran 21 kali 22 meter itu memiliki
tiang bendera di sisi sebelah timur. Dalam tafsir Al Azhar karangan
almarhum Buya Hamka disebutkan, tiang bendera itu juga digunakan sebagai
tempat pelaksanaan hukuman gantung menurut hukum Islam.
Tetapi ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang
mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud
terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi) oleh
orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan
pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian
masjid di tempat tersebut.
Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi
ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola
kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa
yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks
keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Menurut Drs H La Ode Manarfa
(almarhum) semasa hidupnya, putera Sultan Buton ke-38, meriam bersimbol
naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700
tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa
diledakkan.
Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas
Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah
Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat
keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Khusus Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio
dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama
Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang
diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad SAW.
Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga
(bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai
enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba
(gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.
Narasumber: TravelKompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar